Wednesday, 29 January 2014

[Review] Ronggeng Dukuh Paruk - Ahmad Tohari

Judul : Ronggeng Dukuh Paruk
Penulis : Ahmad Tohari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 978-979-22-0196-3
Jumlah Halaman : 406

Sinopsis :

Novel ini merupakan gabungan dari 3 buku: Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus di Dini Hari dan Jantera Bianglala, yang menceritakan kehidupan Srintil, seorang warga Dukuh Paruk. 

Semangat Dukuh Paruk kembali menggeliat sejak Srintil dinobatkan menjadi ronggeng baru, menggantikan ronggeng terakhir yang mati dua belas tahun yang lalu. Bagi pedukuhan yang kecil, miskin, terpencil dan bersahaja itu, ronggeng adalah perlambang. Tanpanya dukuh itu merasakah kehilangan jati diri.

Dengan segera Srintil menjadi tokoh yang amat terkenal dan digandrungi. Cantik dan menggoda. Semua ingin pernah bersama ronggeng itu. Dari kaula biasa hingga pekabat-pejabat desa maupun kabupaten.

Namun malapetaka politik tahun 1965 membuat dukuh tersebut hancur, baik secara fisik maupun mental. Karena kebodohannya, mereka terbawa arus dan divonis sebagai manusia-manusia yang telah mengguncangkan negara ini. Pedukuhan itu dibakar. Ronggeng berserta para penabuh calung ditahan.Hanya karena kecantikannya Srintil tidak diperlakukan semena-mena oleh para penguasa penjara itu.

Namun pengalaman pahit sebagai tahanan politikmembuat Srintil sadar akan harkatnya sebagai manusia. Karena itulah setelah bebas, ia berniat memperbaiki citra dirinya. Ia tak ingin lagi melayani lelaki manapun. Ia ingin menjadi wanita somahan. Dan ketika Bajus muncul dalam hidupnya sepercik harapan muncul, harapan yang semakin lama semakin besar.

***

Saya sudah lama menginginkan novel ini, tapi berhubung di Gramedia yang ada hanya cover film, saya terpaksa bersabar. Beruntung saya menemukan cover oranye di salah satu bookseller online. Kali ini saya tidak mau menunggu... 

Sebenarnya saya sama sekali belum pernah membaca karya Ahmad Tohari (Yes! Berarti buku ini bisa dipake buat Reading Challenge... :p), tapi sejak membaca buku ini saya pasti akan membaca bukunya yang lain^^ Saya jatuh cinta dengan tulisannya sejak dari halaman pertama. Alasannya jelas, karena dia begitu lihai melukiskan Dukuh Paruk dengan kata-kata.

Buat saya ini penting karena saya adalah jenis pembaca yang sangat mementingkan deskripsi, terutama deskripsi latar dan suasana. Mungkin karena itu saya tidak terlalu suka novel yang isinya kebanyakan dialog o_O

Ahmad Tohari bisa menyuguhkan Dukuh Paruk dengan begitu detil. Saya seperti benar-benar melihat sebuah dukuh yang miskin, tapi, bagaimanapun, indah. Saya membayangkan hutan jati yang kaya dengan bunyi-bunyian: serangga, angin, gerakan daun. Bagaimana dengan hewan-hewan yang mungkin sekarang di desa pun sudah jadi langka? Kumbang tahi, kalong, burung-burung. Dekripsi yang kaya itu mewarnai cerita ini dengan serasi, sepantasnya.

Tapi bagaimanapun, Dukuh Paruk adalah komunitas yang cabul, miskin dan bodoh. Tapi dia tulus dan lugu.  Dengan kondisi itu, Dukuh Paruk terombang ambing jaman, seperti diwakili oleh primadonanya, Srintil, yang belajar berubah seperti Dukuh Paruk sendiri belajar berubah.

Sepanjang buku ini, saya banyak berpikir. Komunitas macam apa ini yang menganggap percabulan adalah kebanggaan? Menjadi ronggeng bukan keinginan Srintil, tapi sesuai kepercayaan Dukuh Paruk, ia menerima itu sebagai sesuatu yang given. Mengapa? Karena dia tidak mengerti, karena dia hanya mengikuti apa yang selama ini telah ada. Kalau begitu apakah Dukuh Paruk dan orang-orangnya patut disalahkan?

Di sisi lain, buku ini terasa relevan dengan kondisi saat ini. sisi lain Dukuh Paruh diwakili oleh Rasus, pria yang mencintai dan dicintai Srintil sejak mereka masih belia. Rasus yang terluka oleh Dukuh Paruk yang menggambil Srintil menjadi ronggeng, pergi keluar dusun. Berada di luar tanah air kecilnya, matanya terbuka dan ia tahu ada yang salah dengan dusunnya. Tapi apakah Rasus cukup melakukan sesuatu untuk membuat Dukuh-nya juga keluar dari nasib buruk mereka?

Menarik sekali melihat karakter mereka berkembang, terutama karakter Srintil. Srintil yang seorang ronggeng, Srintil yang bekas tahanan, Srintil yang ingin meninggalkan masa lalunya. Srintil yang rapuh secara psikologis. 

Karakter-karakter lain di buku ini juga relevan: manusia-manusia cinta uang, pria-pria yang memanfaatkan wanita demi harta dan tahta, ibu-ibu pejabat tukang gosip, orang-orang yang memakai kekuasaan untuk mendapatkan keinginan mereka.

Dan politik yang melibas mereka yang tidak mengerti.

Mungkin pada akhirnya perenungan Rasus di akhir cerita juga jadi apa yang kita renungkan. 
Demi Seniman Agung yang menciptakan Dukuh Paruk, semestinya aku tidak mempersamakan tanah airku yang kecil itu hanya sekadar dengan lumut atau cerperlai. Di sana ada kemanusiaan, maka mestinya ada juga akal budi dan nurani. Namun akulah yang menjadi saksi pertama bahwa kemanusiaan, akal budi dan nurani di tanah airku yang kecil ini hanya berkembang sampai ke taraf primitif. Dan apabila benar aku mencintai Dukuh Paruk, mengapa aku berdiam diri dan membiarkan orang-orang sepuak tumbuh liar dengan segala akibatnya berupa kekalahan-kekalahan hidup? Membiarkan mereka ternista oleh saringan alam.

Aku tidak ingin berkata bahwa akulah pihak pertama yang harus mengemban tanggung jawab itu. Pihak pertama itu mestilah para pemangku kekuasaan resmi. Namun aku harus menyadari, wawasan kekuasaan pada taraf nasional atau regional nyatanya tidaklah mesti menukik dan rinci sampai ke masalah pedukuhan kecil seperti Dukuh Paruk. Sepanjang yang teringat sekali pun aku belum pernah menyaksikan mereka berbuat sesuatu yang nyata bagi perbaikan tanah airku yang kecil itu.

Dalam keadaan demikian aku memang merasa ada tangan menuding kepadaku. Akulah yang secara moral paling layak mengambil tanggung jawab bagi kemanusiaan Dukuh Paruk.
Membaca bagian akhir ini, saya menduga, Ahmad Tohari memaksudkan agar tanah air kecil itu mewakili tanah air besar.

Well, Belum ada 2 jam yang lalu saya menyelesaikan novel ini, tapi saya tahu saya harus tulis reviewnya segera sebelum semua perasaan 'after reading' itu hilang. Yang jelas saya sedih, galau dan merasa nelangsa.


1 comment:

  1. Ini novel Indonesia favoritku.. Sayang dulu aku baca edisi Orde Baru-nya. Yang masih 3 buku kecil, butut dan disensor. Dari ending Lintang Kemukus ke awal Jantera Bianglala tuh berasa janggal gitu jadinya karena seluruh adegan yang ada unsur PKI-nya dipotong. Pas udah keluar edisi lengkapnya, aku males beli. Ahahaha. Sekarang jadi penasaran.. Jadi pengen berburu bukunya juga..

    ReplyDelete