Sunday, 10 March 2013

[Review] Singgah

Judul  : Singgah

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Terbit : 31 Januari 2013
Jumlah halaman : 236

Sinopsis : 


Terminal, bandara, pelabuhan, stasiun: Tempat persinggahan, keberangkatan, perhentian.

Ada banyak kisah tentang pertemuan dan perpisahan. Tentang orang-orang yang menanam kakinya di sana. Mereka yang berbagi luka dan cinta. Tentang rindu yang diam-diam dipendam. Tempat yang selalu ingar bingar, tetapi juga melesapkan sepi yang menggerogoti jiwa—tanpa suara.

Seorang lelaki menapak tilas jejak kekasihnya yang hilang ke sebuah dermaga, lelaki lainnya memancing bintang. Di stasiun, pak tua berpeci lusuh duduk menanti mataharinya setiap dini hari. Di bandara, koper-koper tertukar, dan ada cinta yang menemukan pelabuhannya. Di terminal, panas kopi membakar lidah dan hati.

Sebelas penulis merangkai kenangan di tempat tempat persinggahan. Mengantar pergi, menjemput pulang.


***

Cerpen selalu punya daya magis, karena dengan ruang yang terbatas penulis dituntut untuk bisa mengemukakan idenya dan meninggalkan kesan. Setelah beberapa tahun menjadi pengikut setia kumpulan cerpen Kompas, saya mengamati belakangan banyak buku dengan konsep serupa diterbitkan. Beberapa terkesan matang, beberapa sekadarnya. Setelah beberapa waktu lalu Gramedia menerbitkan kumpulan cerpen dengan tema hujan, berjudul Perempuan yang Melukis Wajah, kali ini tema yang diambil adalah tempat yang berhubungan dengan perjalanan. Tempat yang menjadi persinggahan.

Saya bukan penggemar cerpen surealis. Bagi saya, cerpen dengan kisah realis lebih mengena di hati walaupun penyampaiannya tidak selalu liris. Untungnya dari 13 cerpen di buku ini, hanya 2 yang menurut saya surealis: Jantung (Jia Efendi) dan Para Hantu & Jejak-jejak di Atas Pasir. Selebihnya, kisah sehari-hari yang terjadi di tempat-tempat yang kita temui sehari-hari.

Favorit saya adalah Dermaga Semesta (Taufan Gio), tentang seorang Pemuda yang melakukan napak tilas perjalanan kekasihnya yang sudah meninggal. Di dalamnya saya menemukan kehilangan yang dihadapi dengan tegar, bukan dihindari tetapi disambut. Lagi-lagi ini soal kenangan, kenangan yang pada akhirnya menjadi berharga kalau kita menerima. Menerima dengan sederhana. Lalu kembali berjalan dan membuat kenangan-kenangan baru. 

Membaca kumpulan cerita yang ditulis oleh banyak pengarang tentu saja tidak sama dengan membaca buku dengan konsep sama yang ditulis oleh satu pengarang. Kadang saya menemukan intensitasnya naik turun, karena tidak semua cerita menghasilkan efek yang sama. Bahkan hal seperti gaya bahasa pun bisa menghasilkan efek yang berbeda.

Saya tidak tahu kenapa buku ini diberi judul singgah, selain karena buku ini memakai banyak setting tempat singgah. Tapi, sepertinya konsep singgah sendiri tidak terlalu mengemuka. Apakah singgah, berarti sekedar lewat. Atau singgah, yang artinya berhenti sementara. Atau singgah, yang adalah pergi dengan terpaksa. Bahkan buku ini pun sepertinya hanya sekedar singgah.

Mungkin seperti yang ditulis dalam sinopsisnya, singgah adalah antara pergi dan pulang. Benarkah?



Love, 
Dhieta

No comments:

Post a Comment