Thursday, 21 March 2013

[Review] Jalan Raya Pos, Jalan Daendels

Judul : Jalan Raya Pos, Jalan Daendels
Pengarang : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
ISBN : 979 - 97312 - 8 - 3
Jumlah Halaman : 145

***

Sinopsis

Sebuah buku adalah sebuah kesaksian. Dan buku ini adalah kesaksian tentang peristiwa genosida kemanusiaan paling mengerikan di balik pembangunan Jalan Raya Pos atau lebih dikenal dengan Jalan Daendels; jalan yang membentang 1000 kilometer sepanjang utara pulau Jawa, dari Anyer sampai Panarukan. Inilah satu dari beberapa kisah tragedi kerjapaksa tebesar sepanjang sejarah di Tanah Hindia.

Pramoedya Ananta Toer lewat buku ini menuturkan sisi paling kelam pembangunan jalan yang beraspalkan darah dan airmata manusia-manusia Pribumi. Pemeriksaan yang cukup detail dan bersorak tuturan perjalanan ini, membiakkan sebuah ingatan yang satire, bahwa kita adalah bangsa yang kaya tapi lemah. Bangsa yang sejak lama bermental diperintah oleh bangsa-bangsa lain.

Satu lagi buku yang menguak sejarah tragedi terbesar terkoyaknya kita sebagai bangsa yang kawasannya luas, kaya, tapi selalu kalah dalam segala hal.

***

Menyelesaikan buku ini adalah perjuangan. Sebenarnya buku ini adalah buku wajib saya di bulan Februari, tapi baru saya selesaikan pertengahan Maret. Padahal bukunya tipis saja dan biasanya untuk buku setipis ini saya tidak membutuhkan waktu lebih dari tiga hari.

Mungkin karena buku ini tidak seperti perkiraan saya yang mengharapkan  karya fiksi seperti halnyat etralogi Pulau Buru. Ternyata buku ini  adalah buku non-fiksi yang lebih seperti text book sejarah. Apakah menarik? Entahlah, untuk saya, sepertinya agak nanggung. Ups? Siapa saya berani mengkritik Pramoedya? Well, this is all what I feel when I read it T.T

Buku ini membawa kita menyelusuri kota-kota yang dilewati oleh Jalan Raya Pos yang dibangun oleh Daendels, dari Anyer sampai Panarukan, membentang sepanjang 1000 km. Tentu saja riset yang dilakukan Pramoedya sangat kuat dan informatif, tapi semua informasi tambahan itu seakan menenggelamkan peristiwa pembangunan Jalan Raya Pos itu sendiri. Seakan Pramoedya bebas saja memasukkan informasi apapun mengenai kota-kota yang ia bahas. Informasi itu bisa saja tentang masa penjajahan Portugis dan Spanyol, penjajahan Belanda (tidak terbatas pada masa Daendels), sampai masa perjuangan kemerdekaan, Orde Lama, bahkan orde baru. Saya agak terganggu dengan hal ini karena menurut saya agak  tidak fokus dan mengaburkan tema semula.
 
Memang saya mendapat banyak informasi tentang sejarah kota-kota yang dilalui Jalan Raya Pos. Kalau buku ini memang mau sebatas menyusuri kota-kota sepanjang Jalan Raya Pos, saya kira itu tidak masalah. Tapi saya tidak menangkap isu genosida yang disampaikan sejak awal, kecuali informasi mengenai  jumlah orang terbunuh. Jujur saja, saya mengharapkan buku ini fokus pada kisah tentang pembangunan Jalan Raya Pos itu sendiri, peristiwa-peristiwa atau polemik apa yang terjadi ketika jalan itu dibangun. Sesuatu yang bisa membuah hati kita sakit karena penderitaan para pekerja paksa pada saat itu.

Saya sebenarnya penggemar buku Sejarah, itu adalah mata salah sau masa pelajaran favorit saya di sekolah dulu. Tapi, saya agak capek membaca buku ini. Mungkin seperti perasaan di masa sekolah muncul lagi, ketika kita harus membawa textbook wajib tanpa menikmatinya. Ketika halaman terakhir sudah dilewati, saatnya menghembuskan nafas panjang dan beristirahat sejenak.




Love,
Dhieta

Sunday, 10 March 2013

[Review] Éclair: Pagi Terakhir di Rusia



Judul : Eclair, Pagi Terakhir di Rusia
Penerbit : Gagas Media
Jumlah Halaman : 236
Tanggal terbit : Maret 2011

***

Kalau bukan karena twitter Prisca Primasari yang menawarkan buku ini plus tanda tanggannya, mungkin saya ngga akan sebegitu tertariknya. Tapi, yaah, berhubung review tentang buku sebelumnya cukup oke, ngga ada salahnya kan mencoba dengan buku yang lain ;)

Ngga jauh-jauh dari buku yang sebelumnya, lagi-lagi novel ini bersetting di Eropa. Ada juga sih sebagian cerita di Indonesia, tapi sebenarnya tokohnya adalah bule-bule asal Rusia. Ceritanya adalah tentang persahabatan 4 orang pria, business-man, sastrawan, fotografer dan koki. Informasi-informasi mengenai profesi mereka  itu menjadi ornamen yang menghiasi dialog dan narasinya. Membuatnya berisi dan berarti. Kelihatan kalau Prisca ini fokus pada detail dan melakukan riset yang tidak serampangan.

Saya ngga akan bahas detail tentang buku ini seperti apa karena bagaimanapun buku ini, seperti karya Prisca lainnya, termasuk buku yang bisa dinikmati.  Ide utamanya adalah tentang rekonsiliasi. Bagaimana ketika persahabatan itu retak dan harus ada orang yang berani meminta dan memberi maaf. 

Membaca hampir semua buku Prisca, finally saya menyimpulkan, buku-bukunya seperti buku dongeng. Poin plusnya adalah Prisca punya teknik penulisan yang bagus. Alur nya yang maju mundur bikin cerita di buku ini lebih dinamis karena sebenarnya konflik dan ide ceritanya sederhana.

Setelah membaca hampir semua buku Prisca, saya cuman jadi penasaran aja bagaimana kalau Prisca bikin buku dengan setting Indonesia, dengan ornamen lokal, dengan tokoh yang sangat Indonesia. Apakah sama romantis nya dengan latar Eropa yang sering dia pakai?



Love,
Dhieta

[Review] Singgah

Judul  : Singgah

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Terbit : 31 Januari 2013
Jumlah halaman : 236

Sinopsis : 


Terminal, bandara, pelabuhan, stasiun: Tempat persinggahan, keberangkatan, perhentian.

Ada banyak kisah tentang pertemuan dan perpisahan. Tentang orang-orang yang menanam kakinya di sana. Mereka yang berbagi luka dan cinta. Tentang rindu yang diam-diam dipendam. Tempat yang selalu ingar bingar, tetapi juga melesapkan sepi yang menggerogoti jiwa—tanpa suara.

Seorang lelaki menapak tilas jejak kekasihnya yang hilang ke sebuah dermaga, lelaki lainnya memancing bintang. Di stasiun, pak tua berpeci lusuh duduk menanti mataharinya setiap dini hari. Di bandara, koper-koper tertukar, dan ada cinta yang menemukan pelabuhannya. Di terminal, panas kopi membakar lidah dan hati.

Sebelas penulis merangkai kenangan di tempat tempat persinggahan. Mengantar pergi, menjemput pulang.


***

Cerpen selalu punya daya magis, karena dengan ruang yang terbatas penulis dituntut untuk bisa mengemukakan idenya dan meninggalkan kesan. Setelah beberapa tahun menjadi pengikut setia kumpulan cerpen Kompas, saya mengamati belakangan banyak buku dengan konsep serupa diterbitkan. Beberapa terkesan matang, beberapa sekadarnya. Setelah beberapa waktu lalu Gramedia menerbitkan kumpulan cerpen dengan tema hujan, berjudul Perempuan yang Melukis Wajah, kali ini tema yang diambil adalah tempat yang berhubungan dengan perjalanan. Tempat yang menjadi persinggahan.

Saya bukan penggemar cerpen surealis. Bagi saya, cerpen dengan kisah realis lebih mengena di hati walaupun penyampaiannya tidak selalu liris. Untungnya dari 13 cerpen di buku ini, hanya 2 yang menurut saya surealis: Jantung (Jia Efendi) dan Para Hantu & Jejak-jejak di Atas Pasir. Selebihnya, kisah sehari-hari yang terjadi di tempat-tempat yang kita temui sehari-hari.

Favorit saya adalah Dermaga Semesta (Taufan Gio), tentang seorang Pemuda yang melakukan napak tilas perjalanan kekasihnya yang sudah meninggal. Di dalamnya saya menemukan kehilangan yang dihadapi dengan tegar, bukan dihindari tetapi disambut. Lagi-lagi ini soal kenangan, kenangan yang pada akhirnya menjadi berharga kalau kita menerima. Menerima dengan sederhana. Lalu kembali berjalan dan membuat kenangan-kenangan baru. 

Membaca kumpulan cerita yang ditulis oleh banyak pengarang tentu saja tidak sama dengan membaca buku dengan konsep sama yang ditulis oleh satu pengarang. Kadang saya menemukan intensitasnya naik turun, karena tidak semua cerita menghasilkan efek yang sama. Bahkan hal seperti gaya bahasa pun bisa menghasilkan efek yang berbeda.

Saya tidak tahu kenapa buku ini diberi judul singgah, selain karena buku ini memakai banyak setting tempat singgah. Tapi, sepertinya konsep singgah sendiri tidak terlalu mengemuka. Apakah singgah, berarti sekedar lewat. Atau singgah, yang artinya berhenti sementara. Atau singgah, yang adalah pergi dengan terpaksa. Bahkan buku ini pun sepertinya hanya sekedar singgah.

Mungkin seperti yang ditulis dalam sinopsisnya, singgah adalah antara pergi dan pulang. Benarkah?



Love, 
Dhieta

Saturday, 9 March 2013

[Review] The Song of Achilles


Judul : The Song of Achilles
Pengarang : Madeline Miller
Penerbit : Blomsbury Publishing

Sinopsis :


Greece in the age of Heroes. Patroclus, an awkward young prince, has been exiled to the kingdom of Phthia. Here he is nobody, just another unwanted boy living in the shadow of King Peleus and his golden son, Achilles.


Achilles, 'best of all the Greeks', is everything Patroclus is not — strong, beautiful, the child of a goddess — and by all rights their paths should never cross. Yet one day, Achilles takes the shamed prince under his wing and soon their tentative companionship gives way to a steadfast friendship. As they grow into young men skilled in the arts of war and medicine, their bond blossoms into something far deeper — despite the displeasure of Achilles's mother Thetis, a cruel and deathly pale sea goddess with a hatred of mortals.

Fate is never far from the heels of Achilles. When word comes that Helen of Sparta has been kidnapped, the men of Greece are called upon to lay siege to Troy in her name. Seduced by the promise of a glorious destiny, Achilles joins their cause. Torn between love and fear for his friend, Patroclus follows Achilles into war, little knowing that the years that follow will test everything they have learned, everything they hold dear. And that, before he is ready, he will be forced to surrender his friend to the hands of Fate.

Profoundly moving and breathtakingly original, this rendering of the epic Trojan War is a dazzling feat of the imagination, a devastating love story, and an almighty battle between gods and kings, peace and glory, immortal fame and the human heart



***


Wew! Buku ini penuh letupan letupan kecil yang bikin tarik nafas pas selesai bacanya.

Saya lagi pengen baca buku-buku yang menang literary award. Pas kebetulan nemu buku ini didiskon, dan tertarik karena di covernya ada notifikasi kalau buku ini menang Orange Prize 2012. Trus baca sinopsisnya lumayan tertarik cos mikirnya bakal baca soal persahabatan antara dua pria, Achilles dan Patroclus. Kalo persahabatan antara dua cewek, kan udah sering dibahas tuh. Tapi persahabatan dua cowok agak-agak jarang, makanya penasaran.

Tapiiii, ternyata oh ternyata... this is not about friendship between two man. This is about love between them. Weleh, saya shock banget! Hadoooohhh... agak sedikit perjuangan sih bacanya apalagi kalau pas bagian si Achilles dan Patroclus ini mesra-mesraan. Agak-agak geli gitu.

Cerita dalam novel ini punya latar waktu yang panjang, dari Patroclus kecil sampai dengan masa dewasanya. Sebenarnya novel ini menceritakan kembali legenda Yunani Kuno, Perang Troya, dari sudut pandang Patroclus.  Tapi fokusnya lebih kepada hubungan antara Patroclus dan Achilles, yang sampai akhir saya berusaha mendefinisikan hubungan mereka sebagai persahabatan -.- Saya ngga tahu kenapa Miller, yang background pendidikannya adalah studi tentang Yunani Kuno, menginterpretasikan Patroclus dan Achilles as lovers, sementara novel lain menceritakan mereka sebagai bestfriends, dan even di filmnya mereka malah diceritakan sebagai keluarga.

Yang jelas, deskripsi Patroclus soal Achilles bikin saya jatuh cinta sama tokoh satu ini. Dia diceritakan ganteng abis, cuek, kuat, prideful, tapi sebenarnya lembut hati. Macho abis. Kalau awalnya saya pendukung Paris, sekarang saya jadi beralih pada Achilles. Posisinya sebagai anak yang ditakdirkan menjadi mesin perang, bukan sesuatu yang dia inginkan. Pilihannya untuk maju berperang tidak lebih dari karena dia tidak punya pilihan. Perang itu sendiri pada akhirnya membuat dia terluka secara emosional dan cukup mengubah dia jadi sosok yang (hampir) ngga punya belas kasihan. 

Sebagian besar cerita adalah masa sebelum perang Troya, saya agak bosan bacanya karena lumayan flat di awal, tapi begitu masuk ke bagian perangnya, baru deh mulai intensitasnya. Apalagi karena ada ramalan kalau si Achilles ini bakalan mati dan membaca buku ini halaman demi halaman seperti mendekatkan Achilles pada kematiannya, which was actually I didn't want to do so. Anyway, saya sedih banget pas Achilles ini akhirnya harus mati, sampe kepikiran berhari-hari.

Trus karena novel ini pakai sudut pandang orang pertama (Patroclus) dan disampaikan dengan gaya bahasa yang so sweet, image saya tentang Patroclus ini jadi ngga macho sama sekali. Cenderung menyek-menyek dan bikin saya sebel. Tapi terlepas dari itu, buku ini sangat puitis dan penuh metafora yang kalau diterjemahin ke bahasa Indonesia bakalan agak-agak lebay wkwkwk.... Yah, tapi berhubung saya suka puisi jadi ngga masalah juga sih. 

Bukan jenis buku yang saya nikmati dari awal sampai akhir memang, tapi secara emosional bikin galau juga sih pas sampai di halaman terakhir. Oh, Achilles... You're really breathtaking.




Love,
Dhieta




Achilles asks questions that cannot be answered and makes demands that cannot be met - Adam Parry.

[Review] Kastil Es dan Air Mancur yang Berdansa


Judul : Paris
Pengarang : Prisca Primasari
Penerbit : Gagas Media

***

Sinopsis (copas dari goodreads :p)

Vinter

Seperti udara di musim dingin, kau begitu gelap, muram, dan sedih. Namun, pada saat bersamaan, penuh cinta berwarna putih. Bagaikan salju di Honfleur yang berdansa diembus angin…. 

Florence

Layaknya cuaca pada musim semi, kau begitu terang, cerah, dan bahagia. Namun, pada waktu bersamaan, penuh air mata tak terhingga. Bagaikan bebungaan di Paris yang terlambat berseri….

***

Dibandingkan karya-karya Prisca yang lain, novel ini favorit saya. Pertama, dari segi penyampaian, saya suka dengan gaya Prisca menulis. Rapi, teratur dan kesannya bersih. Wkwkwk, agak membingungkan yah deskripsinya :D

Kedua, dari segi karakter, novel ini digarap dengan baik. Bercerita tentang Vinter dan Florence yang bertemu secara kebetulan di kereta, disaat Florence sedang melarikan diri dari perjodohan yang diatur orang tuanya. Saya menemukan bahwa karakter dalam novel ini terasa kuat, karena saya tahu kenapa tokoh A punya karakter itu. Misal, di buku ini diceritakan masa lalu Vinter yang membuatnya menjadi tokoh yang cenderung dingin dan menarik diri. Hal lain, karakter yang konsisten dari awal sampai akhir juga menjadi nilai plus.

Kalau soal plot, mungkin karena plotnya tidak linear, saya jadi ngga bosan bacanya. maksudnya, novel ini ngga cuma cerita soal kisah cinta Vinter dan Florence, tapi juga soal masa lalu Vinter, sahabat mereka yang bernama Zima, dan juga tentang patah hati Florence. Cerita yang saling berkaitan itu dirangkai dengan dinamis, dan ada value yang bisa diambil. 

Bagaimanapun, kalau dibandingkan dengan buku bergenre sama, novel ini termasuk layak dibaca. Ngga adil dong kalau saya bandingkan dengan bukunya Pramoedya, NH Dini atau Remy Silado. Saya sih tetep seneng baca novel ini. Soalnya kadang banyak buku genre serupa yang terlalu bertele-tele dan over-romantic, trus kesannya jadi alay. Kalau udah nemu yang kaya gitu, rasanya capek banget deh. Suka ngga selesai bacanya hehehe.

Yang paling penting, dari novel ini ada banyak hal yang sebelumnya saya  ngga tahu. Tentang kota bernama Hornfleur di Perancis, beberapa puisi dan musik klasik, juga tentang profesi memahat es. Romantis tapi tidak over. Pas.

Good job, Prisca.



Love, 
Dhieta




[Review] Paris


Judul : Paris
Pengarang : Prisca Primasari
Penerbit : Gagas Media

***

Bulan Februari kemarin saya banyak membaca tulisan Prisca. Buku ini ber-setting di Paris, tempat yang udah sering banget dijadiin setting, mulai dari buku, lukisan, film, lagu, macem-macem lah. Tapi yah, berhubung Paris itu salah satu kota favorit saya, ngga pernah bosen deh baca soal kota ini.

Novel ini bercerita tentang kisah cinta Aline dan Sena. Alur ceritanya sederhana, tapi disampaikan dengan bagus. Mungkin ini soal selera ya... Saya bukan tipe pembaca yang suka baca cerita yang disampaikan dengan bahasa gaul. Mungkin karena udah biasa baca sastra, jadi terbiasa dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar :p Bahasa gaul sebagai dialog, untuk memperkuat karakter bisa diterima, tapi kalo narasi cerita pake bahasa gaul, agak-agak kurang suka bacanya. Well, sekali lagi ini soal selera.

Oke, buku ini punya cerita yang unik. Berawal dari Aline yang menemukan pecahan keramik di taman, lalu benda itu menbawanya mengenal seorang cowok bernama Sena. Cowok ini dikisahkan misterius, karena mengajaknya bertemu di Bastille, pukul 12 malam. Cowok ini juga diceritakan sering datang dan pergi tanpa alasan yang jelas. Diantara semua ketidak jelasan itu, Aline pelan-pelan menemukan dirinya jatuh cinta. Cinta yang membuat dia mengenal dirinya sendiri dan berani melangkah dari patah hati.

Interaksi antara Aline dan Sena cukup dinamis dengan beberapa perbedaan karakter yang mereka punya. Menarik melihat bagaimana mereka saling menyesuaikan. Apalagi ketika diperkaya dengan janji Sena untuk memenuhi 3 permintaan Aline karena sudah mengembalikan pecahan keramiknya. Cerita tentang keramik itu pun merupakan misteri tersendiri.

Over all, saya menikmati membaca buku ini. Paris sebagai setting juga diolah dengan pas, walaupun tidak terlalu dalam. Untungnya, Paris diposisikan bukan sebagai kota over-romantic dengan cerita berkisar antara berciuman di puncak menara Eiffel atau fine-dining dengan hidangan keju. I'm getting sick with something like that. 

Satu hal yang cukup mengganggu cuma alasan kenapa Sena menjadi cowok misterius. Menurut saya alasannya agak sulit diterima akal sehat dan agak hiperbola. But overall, this book is another sweet story to be read with a cup of cammomile tea.




Love.
Dhieta



I love Paris in the summer, when it sizzles - Cole Porter